Diplomasi Bhinneka Tunggal Ika dalam Menghadapi Tatanan Dunia Baru di Era Perang Rusia-Ukraina (Part 1)

INDEKSMEDIA.ID – 60-an tahun lalu McLuhan memprediksi bahwa global village akan terbentuk (Mcluhan,1962), di mana kondisi global disimbolkan oleh konflik ideologi yang semakin berkurang.

Hal itu terjadi karena meningkat dan pesatnya perkembangan informasi dan teknologi yang mempercepat kondisi global untuk semakin borderless (tak teratur).

Pandangan tersebut didukung oleh pernyataan Fukuyama dalam karyanya The End of History and The Last Man (Fukuyama, 1992), yang memaparkan bahwa perselisihan dialektika filosofis dan dialektika hostoris-matrialis (komunisme) telah ketinggalan zaman, dan didominasi oleh paradigma demokrasi liberal.

Keunggulan itu bukan hanya ditandai dalam konteks pemikiran, tetapi juga dalam fenomena dunia yang nyata, yaitu bubarnya Uni Soviet.

Kemenangan blok demokrasi-liberal, menurut Fukuyama, disimbolkan oleh kesuksesan ideologi ini mencapai silogisme dan menjembatani kontradiksi yang selama ini menjadi perselisihan di tengah dunia Barat.

Perselisihan itu adalah ideologi dialektika sosial-komunisme yang selama ini berpedoman pada problem mendasar di dunia disebabkan oleh pertarungan ekonomi antar kelas borjuasi (kapitalis) dan proletariat (buruh).

Fukuyama menganggap bentuk dunia yang bipolar itu sudah berakhir karena keberhasilan blok demokrasi-liberal, dalam hal ini Ini Eropa dan Amerika Serikat, yang menjadi ideologi universal dan dapat diimplementasikan kepada negara mana pun serta oleh siapa pun, dan dianggap mampu menciptakan kondisi masyarakat yang setara, adil, dan makmur.

Kesuksesan itu disimbolkan dengan meningkatnya peluang negara belahan bumi Selatan menggapai kemakmuran, di mana sebelumnya hanya dinikmati oleh negara bagian bumi Utara (Amerika Serikat dan Uni Eropa), dan sekarang mulai dirasakan oleh negara di bagian bumi selatan, antara lain India, Brazil, Afrika Selatan, dan Indonesia.

Tidak hanya itu, ternyata sudah tergabung ke negara-negara peringkat 20 paling makmur di dunia, yang dikenal dengan sebutan G-20, yang pada tahun 2022 Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan KTT di Bali.

Meskipun pandangan Fukuyama akurat, tapi salah satu penulis terkenal, Frideman, berpendapat lain dan mengkritisi pendapat ini melalui tulisannya yang berjudul The World is Flat.

Dia memberi penekanan pada permasalahan kosmopolitan. Singkatnya, ia memaparkan bahwa globalisasi memiliki dampak anomali.

Tren Tata Dunia Baru yang Lebih Tertutup

Di balik cerita kesuksesan pandangan global village Uni Eropa, telah terjadi anomali beberapa tahun lalu dengan hadirnya fenomena Brexit yang mengejutkan.

Kejadian itu adalah tindakan Inggris memilih untuk mengundrukan diri sebagai anggota Uni Eropa. Dan keputusan untuk keluar berangkat dari isu rasial dan ekonomi domestik: Bahwa bergabung dnegan Uni Eropa malah menjadikan makin mudahnya imigran asing dengan jumlah besar untuk masuk serta mengambil lapangan kerja yang sebelumnya menjadi privilese (hak istimewa) penduduk asli Inggris.

Namun peristiwa paling utama yang mengubah tatanan dunia global untuk semakin tertutup dan egois adalah fenomena Covid-19 yang merusak tatanan dunia global yang terbuka dan bebas menjadi sangat tertutup, yang berakibat menurunnya pertumbuhan ekonomi dunia dan Indonesia.

Belum selesai dengan efek Covid-19, dunia dan Indonesia kembali diperhadapkan dengan tantangan baru, yaitu dampak berlangsungnya perang Rusia-Ukraina.

Efek perang Rusia-Ukraina semakin diperparah dengan adanya tindakan negara blok Barat, yang melakukan embargo produk-produk Rusia maupun Ukraina.

Hal tersebut menyebabkan terjadinya kenaikan harga dua komoditas utama, yakni energi (miga) dan pangan (gandum), selain besi dan jagung dunia.

IMF memberikan laporan terakhir pada 2022 akan terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi dunia yang sebelumnya 4,1 persen menjadi 3,2 persen di tahun 2022.

Bahkan, diprediksi turun menjadi 2,3 persen di tahun 2023 (CNBC,2022). Pada gilirannya diperparah dengan naiknya inflasi dunia yang menyentuh 9 persen (Al-Jazeera, 2022).

Presiden Jokowi sudah menyampaikan bahwa Indonesia akan menghadapi tantangan sulit karena terjadinya krisis pangan, energi dan disusul krisis ekonomi secara bersamaan serta rusaknya rantai suplai dunia, bahkan diperkirakan akan ada 60 negara yang ekonominya ambruk, dan salah satu yang paling dikenal adalah Sri Lanka (Kompas, 2022).

Perang Ekonomi-Politik Blok Amerika Serikat dan Rusia

Dari fenomena tersebut, sebenarnya, kita bisa menganalisa kecenderungan tatanan dunia menuju hambatan baru atau neoproteksionisme di mana kepentingan ekonomi bersinergi dengan semangat menjada kepentingan nasional yang kemudian bertujuan untuk menghambat arus dominasi ekonomi luar negeri (Hart & Spero: 2006) demi terlebih dahulu melindungi kepentingan domestik.

Karena itu, jangan terburu-buru untuk mengatakan bahwa dunia beanr-benar terhubung dan semakin mengurangi hambatan antar negara, karena faktanya dunia, selain datar, juga melengkung seperti yang dinyatakan David Smick (2008).

Dunia tak pernah lepas dari anomali internal. Ketika ada keterbukaan, di sisi lain juga ada keinginan untuk menutup diri (Bambang Sugiharto: 2014).

Hal sederhana dapat kita lihat dari penelitian Karl Hoff dan Joseph Stiglitz (1999) bahwa kecenderungan negara-negara yang sudah maji dari segi ekonomi adalah melakukan strategi proteksi secara internal.

Sehingga, kapasitas komoditas industri dilindungi oleh negara dari serbuan produk luar, sedangkan pasar luar negeri mereka dorong untuk dilakukan liberalisasi, sehingga produk dalam negeri mereka mudah masuk ke negara lain.

Hal itu dicontohkan oleh rezim perdagangan negara-negara maju di AS, Uni Eropa (Stiglitz:2005) dan Asia Timur (Kim:1999) yang menerapkan kebijakan protektif untuk melindungi industri strategis mereka (seperti pertanian) dan terus menciptakan hambatan non-tarif.

Apalagi kondisi pandemi Covid-19 yang diperparah oleh perang Rusia-Ukraina membuat negara di dunia semakin anarki demi mempertahankan kepentingan dan meraih kekuatannya masing-masing (Hans J.Morgenthau) serta menjaga keberlangsungan negara dan kepentingan mereka dalam pengaruh global.

Seperti tindakan Rusia yang sepihak menginvasi Ukraina dan diikuti tindakan unilateral AS bersama NATO yang mendukung Ukraina untuk memberikan sanksi ekonomi bagi Rusia sehingga membuat dunia terbelah ke dalam dua blok yang saling merugikan satu sama lain.

Tentunya hal itu sangat bertentangan dengan prinsip dan nilai Bhinneka Tunggal Ika.

Dampak Perang Rusia-Ukraina bagi Indonesia

Hasil yang diakibatkan oleh perang Rusia-Ukraina yang menciptakan tren neoproteksionisme telah membuat Indonesia berhadapan dengan kondisi perekonomian global yang tidak stabil.

Dorongan tren neoproteksionisme mengeras seiring perubahan cepat dan krisis yang terjadi di negara lain, seperti krisis energi dan pangan yang dialami Uni Eropa, inflasi tinggi As, ancaman bencana kelaparan di Benua Afrika, hingga keruntuhan negara-negara miskin dan berkembang seperti Sri Lanka akibat krisis ekonomi yang diikuti

Konsekuensi perekonomian global yang tidak stabil ini pun berdampak pada Indonesia.

Ekonom Universitas Gajah Mada (UGM) Eddy Junarsin berpendapat bahwa ada lima dampak utama akibat perang Rusi-Ukraina yang dialami oleh Indonesia.

  1. Melemahnya mata uang Rupiah teradap Dolar yang sekarang sudah menyentuh hampir Rp15.000.
  2. Turunnya pasar modal Indonesia.
  3. Menurunnya pendapatan ekspor Indonesia terutama ke Rusia dan Ukraina yang masih dilanda perang.
  4. Semakin beratnya subsidi BBM oleh pemerintah karena melesetnya prediksi APBN yang mengasumsikan harga minyak dunia adalah 60-65 Dolar AS yang ternyata saat ini sudah menembus angka 110 Dolar per barel.
  5. Kenaikan harga komoditas gandum akan memberi dampak kenaikan harga roti dan mie instan.

Adapun ketergantungan impor gandum Indonesia terhadap Ukraina mencapai 10,299 atay 20 persen dari total impor gandum nasional (Kompas, 2022).

Tren neoproteksionisme yang melanda Indonesia dapat dibagi menjadi dua jenis:

  1. Hambatan internal karena ketidakmampuan dan lambannya gerak produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan dan energi domestik. Daya saing Indonesia yang lemah di pasar global karena ketergantungan tinggi pada sektor ekonomi bahan mentah, yang membuat Indonesia terjebak pada sumber daya alam sebagai kutukan (Kojima: 2000).
  2. Hambatan eksternal, masalah ini muncul disebabkan kebijakan negara yang terlibat pada blok Barat dan Timur saling bertikai dan saling embargo, sehingga menyulitkan produk Indonesia untuk memasuki pasar maupun mendapatkan komoditas dari negara-negara tersebut.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, Indonesia harus kembali mengingat dan menginternalisasi serta mengimplementasikan falsafah yang mengambil ini sari Bhinneka Tunggal Ika di dalam pergaulan internasional.

Sehingga, mampu mewujudkan solusi komprehensif, sinergis dan holistik. Baik itu untuk Indonesia maupun dunia, sesuai cita-cita bangsa Indonesia yang terkandung di 4 konsensus dasar kebangsaan.

Penulis: Muhammad Dudi Hari Saputra
(Dosen Universitas Kutai Kartanegara Tenggarong)

Nantikan part 2 dari artikel ini.

Disclaimer: Indeksmedia.id tidak bertanggung jawab atas isi konten ini. Kami hanya menayangkan opini yang sepenuhnya jadi pemikiran narasumber.