George Soros dan Bangkrutnya Ekonomi Eropa

INDEKSMEDIA.ID — Perkara ekonomi memang amat rumit. Alasannya, mesti ada keseimbangan dalam banyak hal.

Mari kita telisik, misalnya, pada 1992 terjadi persitiwa yang dikenal dengan Drama Moneter Eropa, di mana kondisi ekonomi menjadi terpuruk.

Tujuh tahun sejak spekulan merajalela, saat itu mereka semakin berani, dan bahkan membuat Inggris terpental dari European Monetary System akibat ulahnya. Sehingga negara itu mengalami kebangkrutan ekonomi.

Saat itu, masa bergantinya Perdana Menteri Inggris, yang kebijakannya berbeda dengan kebijakan yang ditelurkan Perdana Menteri lama, melahirkan kontroversi.

Betapa tidak, kebijakan yang dikeluarkannya tidak disesuaikan dengan kondisi ekonomi Inggris.

Pada gilirannya Inggris mengalami deflasi, kondisi di mana uang yang beredar di masyarakat lebih rendah ketimbang barang dan jasa.

Dalam kondisi seperti ini, seharusnya pemerintah menerapkan kebijakan moneter untuk menurunkan suku bunga, sehingga masyarakat bisa berbondong-bondong ke Bank untuk melakukan pinjaman.

Hal ini agar uang yang beredar di masyarakat lebih banyak. Namun sayangnya, pemerintah Inggris dalam hal ini Perdana Menteri Inggris, justru meningkatkan suku bunga.

Dampaknya membuat orang-orang menyimpan uangnya di Bank. Inilah yang menjadi sebab berkurangnya uang beredar di masyarakat.

Kondisi semacam ini kemudian dimanfaatkan oleh orang seperti Goerge Soros, spekulan legendaris dalam hal valuta asing.

Uang tidak hanya dijadikan sebagai alat tukar tetapi juga sebagai komoditi.

Dalam kondisi melemahnya uang Inggris, Goerge Soros menukarkan seluruh uang Pondsterling-nya ke mata uang Mark German, yang kala itu stabil dibandingkan mata uang negara lain, sebanyak 1 juta Pondsterling ditukarkan ke mata uang Jerman.

Dengan pertukaran uang yang begitu banyak, akhirnya membuat pihak Inggris kebingungan dan kaget; mengapa uang Pondsterling-nya begitu banyak dilempar keluar?

Begitu dicek, ternyata Goerge Soros lah yang menukarkan uangnya ke luar, sehingga banyak spekulan lain turut menyertainya.

Jadi waktu itu, lantaran George Soros, hampir seluruh spekulan yang ada di Inggris atau spekulan yang memiliki uang Pondsterling Inggris menukarkan uangnya keluar.

Berdasarkan teori dasar ekonomi, hukum supply and demad (penawaran dan permintaan), ketika banyak permintaan atas uang Mark German, maka membuat nilai mata uang Jerman naik dan menjadikan mata uang Inggris turun.

Akhirnya Inggris mengalami penurunan nilai mata uang, yang tadinya 1 juta ponsdterling sama dengan 500.000 Mark Jerman, menjadi 4 juta pondsterling.

Kondisi inilah yang dimanfaatkan oleh Goerge Soros untuk menukarkan kembali uangnya dari Mark German ke Pondsterling dan diikuti oleh spekulan lainnya.

Sebenarnya, sebelum penukaran mata uang, pemerintah Inggris sempat melawan spekulan ini dengan cara membeli mata uangnya sendiri dengan cadangan devisa yang dimilikinya.

Namun, karena banyak betul orang yang menukarkan Pondsterling-nya ke mata uang asing, maka pemerintah Inggris mengaku kalah kepada spekulan.

Pola seperi ini juga lah yang terjadi pada tahun 1997 di Asia. Kemudian merembes kepada krisis moneter di Indonesia pada 1998.

Sebetulnya negara yang ingin disasar oleh spekulan ini adalah China, melalui negara-negara yang seideologi dengannya. Akan tetapi negara itu mampu menahan gempuran dari spekulan ini, dan beberapa negara juga menerapkan kebijakan yang sama seperti negara yang seideologi dengan China.

Hal ini dilakuakn guna melawan George Soros dan kawan-kawannya, seperti Malaysia.

Indonesia juga ingin menerapkan kebijakan yang serupa, tapi entah mengapa Indonesia tidak menerpkannya. Malahan justru negara seperi Malaysia yang menerapkan kebijkan seperti itu.

Amat perlu diketahui, kualitas negara Indonesia dengan Malaysia saat itu mengalami perbedaan yang sangat signfikan, baik dari segi ekonomi, politik, sosial, maupun budaya.

Walhasil Indonesia terkena imbasnya pada 1998, walaupun Malaysia juga demikian, tapi tidak separah krisis yang terjadi di Indonesia.

Menanggapi hal ini, perlu adanya pembatasan gerak kepada spekulan-spekulan, karena masa itu memang tidak ada larangan.

Jelas, sebab tidak ada konstitusi yang mengatur tentang pembatasan gerak spekulan tersebut.

Sekalipun memang tidak melanggar dari aspek konstisutusi, tapi ia melanggar prinsip moral sosial yang hidup di tengah-tebgah masyarakat.

Melalui pemikiran sekelas Soros, yang nyata dia merupkan seorang “Kapitalis”, tentu saja tidak akan peduli dengan hal semacam itu.

Alasannya, apa yang ada di pikirannya hanyalah profit, profit, dan profit, seolah-olah profit inilah yang menjadi tuhannya.

Di masa kini sebenarnya sudah sedikit ada pembatasan kepada pihak spekulan, seperti UU yang melarang adanya penimbunan komoditas di waktu kelangkaan.

Namun, kebijakan itu tentu saja tidak membunuh mata rantai kaum ini, sebab ia hanya membatasi sedikit geraknya.

Tentu tidak masalah, paling tidak membantu masyarakat terhindar dari krisis pangan dan ekonomi karena adanya aturan itu.

Tapi, aturan tersebut tidak sepenuhnya berjalan dengan baik, karena banyak betul penimbunan-penimbunan komoditi yang dapat dilantau dewasa ini seperti kasus kelangkaan minyak goreng, contohnya.

Dalam teori ekonomi perdagangan Internasional, ihwal ekspor-impor, seharusnya saat melakukan ekspor, maka itu akan menambah cadangan devisa negara dan menaikkan nilai mata uang negara kita.

Tapi perlu kita sadari bahwa seharusnya ekspor boleh dilakukan jika komoditi dalam negara terpenuhi, sebab jika terjadi kelangkaan komoditi dalam negeri, justru menyebabkan inflasi.

Alasannya, berdasarkan teori ekonomi supply and demand, tatkala permintaan akan suatu barang naik, sementara penawaran turun, dalam hal ini kelangkaan komoditi, maka membuat harga komoditi itu naik, atau menurunkan niliai mata uang.

Jadi sia-sia saja ekspor ke luar negeri, dampaknya adalah kelangkaan komoditi dan menurunkan nilai dari mata uang itu sendiri.

Oleh sebab itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan, dalam hal ini pembatasan ekspor sebanyak 70%, kemudian sisanya disimpan di dalam negeri untuk menghindari kelangkaan.

Penulis: Candra Wijaya (Mahasiswa Ekonomi IAIN Palopo)