Gelombang Para Oppa: Taehyung Kini Sedang Trending, Apakah Mengancam Idola yang Lain?

INDEKSMEDIA.IDAnnyeonghaseyo (안녕하세요), kata Taehyung kepada para penggemar beratnya.

Sapaan para oppa-oppa ini menjadikan hangat telinga para pecinta Korea, khususnya mereka yang saat ini rindu berjumpa dengan Taehyung, sang oppa dari negeri jauh sana.

Sore tadi, saya bertanya kepada anak-anak SMA di salah satu wilayah kota Palopo, soal Taehyung.

Mengapa? Karena saya tak mengenalnya, sekaligus hendak menguji gelombang Taehyung, apakah sudah menabrak jiwa-jiwa milenial Palopo.

Pertanyaan ini saya ajukan lantaran melihat nama oppa Korea itu sedang berada di level teratas Google Trending.

Tentu saja cukup malu dengan ketidaktahuan saya soal trending-trendingan ini. Apalagi sosok rupawan asal Korea itu.

Singkat jawaban mereka; “ya saya kenal, itu pacar saya.” Dengan heran, serta dalam hati, diri ini berujar “betapa optimisnya mereka, dan betapa bangganya mereka menyebut sang oppa adalah pacarnya?”

Tak lama berselang, saya coba memajang gambar Taehyung di status wa.

Alhamdulillah respon ciwi-ciwi begitu melimpah. Ada yang menyebut pacarnya, mantannya, cintanya, orang wah-nya, pujaannya, kekasih hatinya, penyejuk jiwanya, bahkan barangkali, sampai-sampai Taehyung adalah hidup dan matinya.

Sungguh, amat romantis mereka, dan sungguh merinding saya. Tentu saja menarik untuk dianalisa.

Sebagai pemuda yang ketinggalan zaman, saya heran dengan kejadian semacam ini. Herannya, fenomena ini amat menarik.

Menariknya di mana? Saat mereka mengidolakan wajah dan postur tubuh seseorang. Akhirnya mengubah pikiran saya dan berkesimpulan, “saya harus tampan.”

Tidak sukar untuk dipahami, dunia sosial kita ini, meminjam istilah Peter L. Berger, dipenuhi dengan proses eksternalisasi (keluar) dan internalisasi (kedalam).

Maksudnya, saat orang membicarakan topik tertentu, kemudian direspon baik oleh masyarakat, maka topik itu akan dibicarakan dengan melimpah kata.

Limpahan kata itu pula lah yang menciptakan sirkulasi cerita di tengah jiwa masyarakat.

Tidak kecuali cerita oppa-oppa, yang gelombangnya menyisir ribuan informasi, yang barangkali tak penting bagi kaum milenial.

Kembali ke sejarah, kalau tak salah perkiraan tahun 2001, Meteor Garden booming dan merambati berbagai negara, juga masuk ke dalam retina dan pupil mata saya.

Sosok yang benar-benar amat saya sukai adalah Jerry Yan dan Vennes Wu. Masih terekam dalam memori dan memang sungguh macondan keren.

Waktu itu saya berusia perkiraan 12 atau 13 tahun. Ya karena sudah mulai mengenal lingkungan SMP, makhluk puber telah keluar dari kepompong raganya.

Saat itu saya paksakan agar dibelanjai motor. Akhirnya punya motor. Namun sengketa dengan kakak. Lepas dari itu, memang keren bila ada motor, membawa saya masuk ke dalam psikologi Jerry Yan.

Seketika saja, rasa-rasanya saya lah orang tertampan sejagad Luwu Raya.

Tidak lama ke-booming-an ini disapu angin, hilang. Akhirnya mata saya libur untuk menyaksikan orang-orang tampan ala luar negeri tersebut.

Ini lantaran digantikan oleh pemain-pemain baru yang benar-benar tidak akrab untuk saya amati.

Trauma dikecewakan oleh kegagalan industri perfilman ini memang ada. Saya juga pernah mengalaminya, dan mungkin juga Anda.

Seperti waktu itu, karena AC Milan menjadi andalan, setelah tak menang lagi, saya kecewa, dan tak lagi nonton sepak bola.

Singkatnya, atau dengan kata lain, saya dan semua orang butuh idola. Idola lah yang acap kali membuat hati kita senang dan tenang.

Sekalipun dalam banyak hal, dan mustahil kita mampu menjadi dirinya, bahkan sulit untuk memiliki salah satu dari pernak-pernik yang mereka miliki, tidak terkecuali ide mereka.

Namun entah mengapa dan bagaimana, tetap saja mereka idola kita, ya memang karena kita tak memilikinya.

Kalau kita miliki, untuk apa dia dijadikan idola? Di sinilah kita dapat melihat bahwa semakin banyak idola seseorang, semakin merasa kuranglah dirinya. Dan aneh memang bilamana ada seseorang yang tak punya idola.

Melambung beberapa tahun booming lagi King Bum, Jung Wo dan Lee Min-ho. Benar-benar menggiurkan.

Sampai di situ, saya berhenti menonton film Korea. Bukan karena orang bilang, “operasi plastikji”, bukan.

Karena saya ketagihan. Filmnya bagus. Pemerannya cantik dan tampan-tampam. Karena bagusnya itulah, maka harus ditinggalkan. Mempengaruhi psikologi dan menghabiskan waktu saya.

Bayangkan, saya merasakan psikologi mereka menjadi anak orang kaya, anak yang cerdas, anak seorang raja, pemuda yang tampan, baik hati dan tidak sombong.

Padahal semua itu sama sekali saya tak miliki. Inilah yang barangkali, biasanya orang sebut sebagai, “korban Drakor”.

Kita jatuh ke dalam ilusi Drakor. Sama seperti saat nonton Naruto, Kimetsu no Yaiba, atau Soul Land produksi China Donghua yang episodenya tak habis-habis.

Inilah gelombang perfilman. Memiliki ideologi sendiri, bahkan dapat menampilkan kritik tertentu atas kenyataan sosial dan lain sebagainya.

Meskipun jika ditimbang-timbang, untuk diri saya sendiri, tidak begitu banyak memberikan manfaat.

Barangkali orang lain punya persepektif yang berbeda. Bahkan mungkin matanya tak bisa tidur tanpa nonton Oppa dalam seharinya.

Oppa yang luar biasa, merasuk dalam jiwa kita. Mengerangkeng jiwa kita. Menjadikan diri kita budak di hadapan gerak-gerik dan ketampanan oppa serta kecantikan para oenni.

Gelombang para oppa telah menyapu bersih jahitan ideologi kita. Dari ideologi Pancasila, menjadi ideologi Oppa.

Dari ideologi Islam, menjadi Ideologi Ji Chang. Dari Ideologi Black-White Taoisme, menjadi Black-Pink Lalisa.

Dunia perfilman dan K-Pop memiliki karakteristik sendiri. Kadang menjadikan dunia ini begitu indah untuk sementara, menyeramkan dalam sisi lainnya. Tapi ternyata itu jauh dari dugaan kita semua.

Kita menghadapi kenyataan yang sama sekali bandingannya terbalik dalam dunia perfilman dan imaginasi ala Korea Selatan itu.

Tapi memang, gelombang Taehyung kini tak lagi terbendung. Di manapun mereka menghadapkan wajahnya, di situlah wajah Taehyung. Inilah gelombang para Oppa.

Demikianlah fitrah manusia, mendambakan idola. Apakah salah? Tidak.

Semoga bermanfaat ya.

Penulis: Agung Ardaus