Budaya Literasi, Telaah Filosofis atas Masalah Pendidikan Kita

INDEKSMEDIA.ID — Mampukah Pendidikan kita terlepas dari masalah yang ada? Apakah cita-cita belajar merdeka dapat terwujud hanya dengan memerhatikan budaya sistemik yang terus-menerus menuai perdebatan?

Pertanyaan yang barangkali amat menggelitik adalah; apakah budaya literasi itu sendiri mampu menopang kualitas pendidikan kita?

Saat ini, budaya pendidikan kita masih terkesan kaku. Alasannya, bagi banyak orang, hal semacam ini hanya dipandang sebagai metode belajar yang sifatnya formal.

Padahal, pendidikan harus membudaya dengan alasan bahwa pendidikan merupakan proses pembelajaran untuk mengembangkan diri.

Selain itu, di dalamnya terkandung suatu proses memoles jiwa agar mampu menjadi subjek yang manusiawi bagi manusia yang lain.

Makna sederhana dari apa yang saya hendak sampaikan adalah, pendidikan bukan sekadar mencetak peserta didik untuk memenuhi kebutuhan korporasi. Sekalipun itu hal yang penting.

Untuk mewujudkan pendidikan yang berintegritas tidak cukup hanya dengan menggemakan revolusi sistem. Akan tetapi, kualitas tenaga pendidik juga mesti menjadi atensi yang serius.

Maka dari itu, kita membutuhkan suatu metodologi untuk merevolusi pendidikan secara utuh, melalui budaya literasi yang merdeka, di samping itu tentu saja adanya usaha dalam melahirkan sistem yang baik.

Komunitas Koin Untuk Negeri dan para siswa membuat miniatur Monas. Inilah salah satu materi kelas kreativitas untuk mengasah imaginasi siswa agar mampu berpikir kreatif, (KUN).

Di sini, apa yang saya maksudkan sebagai budaya literasi, itu terlepas dari pendidikan formal. Artinya, peserta didik mesti diakrabkan dengan buku-buku, daya kritisnya dilatih dengan memberinya pengalaman dan pikiran baru.

Selain itu, peserta didik juga dikondisikan untuk bersedia menjawab segala pertanyaan tanpa memberi jawaban yang menumpulkan nalar.

Misalnya, “budaya saya adalah budaya yang paling luhur di seluruh jagad raya, pokoknya demikian.” Nah, kata “pokoknya” ini adalah suatu bentuk keharusan yang biasanya di luar dari kemampuan nalar.

Permisalan lain, “Saya meyakini ada hantu di kamar saya, itu yang saya rasakan.”

Nah, keyakinan dan perasaan semacam itu boleh jadi adalah suatu bentuk mistifikasi, atau tidak adalah suatu bentuk cerita lampau yang dicerna tanpa penalaran kritis.

Artinya, menurut saya, wadah pendidikan sudah semestinya mencetak anak didik yang mampu menjadi manusia bagi manusia lainnya.

Maka, perkara yang amat mendasar adalah mengenali apa itu manusia.

Saya meyakini, pendidikan kita mampu berevolusi secara utuh manakala orientasinya adalah memanusiakan manusia, dan itu mesti membudaya di masyarakat kita.

Pendidikan kita hari ini masih berjibaku dengan persoalan gaji tenaga pengajar, kualitas tenaga pengajar, tidak meratanya kondisi pendidikan antara perkotaan dan pelosok desa, penyesuaian penerapan kurikulum pendidikan dengan peserta didik, dan lain sebagainya.

Pertanyaannya, pernahkah kita menelaah akar permasalahan tersebut?

Hemat saya, sekalipun sistem yang baik akan lebih cepat dalam membawa perubahan, akan tetapi sepenuhnya tidak akan terselesaikan bila kita mengabaikan kualitas sumber daya pengajar.

Sistem yang baik akan mampu berjalan efektif dan bertahan lama apabila para pembuat dan mereka yang menjalaninya memiliki integritas.

Integritas itu sendiri dibangun melalui pendidikan yang memanusiakan manusia, melalui budaya literasi yang memandang manusia sebagai makhluk mulia.

Penulis : Muhammad Ali Asytar (Aktivis Al-Husaini Nusantara/Relawan Pendidikan)