Cerita dan Budaya Tana Luwu (1), Lebih Tua mana Sawerigading atau Nabi Muhammad?

INDEKSMEDIA.ID — Tana Luwu memiliki budaya yang amat tinggi.

Tidak hanya itu, budaya Tana Luwu dibangun melalui kesederhanaan para pemimpinnya.

Dikabarkan oleh Maddika Bua, Budaya dan sejarah Tana Luwu membentang dalam tiga fase, yaitu Galigo, Lontaraq, dan Islam.

“Sejarah dan budaya Tana Luwu itu dibangun di atas 3 perbedaan fase. Fase pertama adalah Galigo, kemudian Lontaraq dan sekarang ini Islam,” Beber Andi Syaifuddin Kaddiraja Opu To Sattiaraja kepada Indeksmedia.id.

Berdasarkan cerita yang terekam di dalam Sureq Galigo, Kedatuan Luwu kali pertama didirikan oleh Batara Guru.

Batara Guru sendiri adalah anak dari Patotoqe dengan Datu Palongeq di Boting Langiq.

Batara Guru dalam Mitologi masyarakat, khususnya Luwu, diyakini sebagai manusia yang pertamakali turun untuk menyemarakkan dunia dan mengisi Kawa (dunia tengah).

Batara Guru kemudian menikahi We Nyiliq Timoq atau Datu Tompoq, anak Guru Riselleq dan Sinauq Toja yang berasal dari Peretiwi.

Dari cerita Galigo inilah, kata Idwar Anwar dalam Ensiklopedia Tana Luwu,”kita dapat memperkirakan awal mula sejarah Tana Luwu.”

Periode tersebut oleh para sejarawan dan budayawan disebut sebagai periode Galigo.

Pada masa itu, setelah Batara Guru kembali ke Boting Langiq, Batara Lattuq pun menggantikannya menjadi Datu/Pajung II.

Masa pemerintahan Batara Guru sendiri diperkirakan pada abad ke-10, namun ada juga yang mengira kekuasaan Batara Guru sudah ada sejak abad ke-6 Masehi.

Perkiraan abad ke-6 ini bersumber dari cerita rakyat, yang memang sangat berkembang, baik di Sulsel maupun di luar daerah.

Cerita rakyat tersebut juga menyatakan bahwa Sawerigading, anak dari pasangan Batara Lattuq dan Datu Sengngeng, pernah berjumpa dengan Nabi Muhammad.

Menurut riwayat, saat bertemu dengan Nabi Muhammad, Sawerigading memiliki usia tujuh tahun labuh tua.

(Aa)