Budaya Pendidikan dan Pendidikan Berbudaya: Inilah Penyakit Stunting yang Diabaikan
INDEKSMEDIA.ID – Budaya adalah entitas yang lahir dari seluruh praktek manusia melalui segenap pendidikan yang diperolehnya.
Karena itu, bagi saya, ada budaya personal, kolektif, dan khususnya kita sebagai manusia, juga ada budaya pendidikan.
Lalu apa perbedaan budaya pendidikan dan pendidikan berbudaya?Jawabannya tidak susah; budaya pendidikan adalah apa yang sudah dan sedang terjadi dalam lingkup personal dan sosialitas kita.
Sementara, pendidikan berbudaya adalah suatu entitas yang lahir dari kearifan yang mendalam melalui segenap praktek dan simbol yang diyakini sebagai bentuk kebaikan.
Karena itu, di dalam studi telelogi (tujuan) masyarakat, ada deklarasi tentang dekalogi kebudayaan termasuk di dalamnya adalah kemanusiaan dan pluralitas.
Sebelumnya saya meminta maaf kepada sidang pembaca yang budiman bilamana ada kata yang menyinggung pikiran dan perasaan Anda semuanya.
Tulisan ini memang sepertinya agak sensitif, tidak untuk melahirkan kontrovesi tetapi memberikan suatu hipotesa dan barangkali fakta, untuk menjadi konsumsi otak kita bersama.
Pertanyaan yang harus dijawab terlebih dahulu soal pendidikan adalah, untuk apa? Mengapa orang mesti belajar? Setelah belajar mereka harus melakukan apa?
Pertanyaan mengapa sebagian orang yang dipandang berpendidikan justru masih terjerat kasus yang tidak manusiawi?
Mau tau contohnya? Korupsi dan ruda paksa, dan tentu saja masih banyak hal lainnya.
Bahkan parahnya, belum lama ini dikabarkan ada petinggi kampus (rektor) yang melakukan korupsi, belum lagi untuk para pejabat pemerintah.
Fenomena ini tentu saja menyayat hati para pemerhati pendidikan. Ini karena muncul suatu keengganan untuk percaya “bagaimana mungkin orang setingkat rektor misalnya, yang memiliki pendidikan tinggi, justru melakukan praktek korupsi?”
Artinya, menurut kesimpulan sederhana kita bahwa, ada sesuatu yang janggal dalam praktek pendidikan semacam itu.
Orang pasti bertanya-tanya, dan barangkali berkesimpulan, “rektor saja korupsi, apalagi kita?”
Anggapan ini justru melahirkan pesimisme di kalangan pelajar. Apalagi bila budaya pendidikan kita di gerogoti oleh visi di mana itu hanyalah proses untuk meraih keuntungan material.
Dari sini, saya ingin menelurkan kesimpulan yang barangkali ikatannya masih belum kuat, dalam pengertian simpulnya masih bisa dibuka, yaitu ada penyakit yang disebut sebagai stunting akal dan stunting hati.
Barangkali sidang pembaca yang budiman baru kali ini mendengarkan dua penyakit di atas. Karena selama ini kita mengira hanya ada penyakit stunting, yaitu pada fisik manusia.
Hipotesa ini lahir dari suatu pandangan dunia yang menyaksikan status ontologis manusia, di mana manusia memiliki dua dimensi, fisik dan non fisik.
Fisik dan non fisik tentu saja memiliki kenyataan yang berbeda, dan karena itu perlakuannya juga mesti berbeda.
Saya berikan perumpamaan; memperlakukan pacar tidaklah sama dengan memperlakukan sahabat, oleh karena pacar dan sahabat itu berbeda.
Memperlakukannya secara sama dan atau sebaliknya, bisa-bisa menimbulkan perkelahian.
Dan atau, mengunyah minuman dan meminum makanan merupakan hal yang sama sekali tidak benar, dengan alasan bahwa keduanya jelas berbeda. Yang seharusnya diperlakukan sebaliknya.
Itu adalah contoh yang amat sederhana, tidak perlu mengeluarkan kekuatan pikiran untuk memahaminya.
Nah, bagi saya, sebagian pendidikan kita kehilangan makna status ontologis ini. Artinya, pendidikan kita belum berhasil melihat dua aspek penting dari manusia, dan karena itu pendidikan kita tidak mengenal manusia.
Tidak mengenalnya dalam dimensi ontologisnya, dan tidak mengenalnya dalam aspek praktis serta tujuannya.
Padahal, sebelum kita memberikan tanggapan atas sesuatu, lebih dahulu kita perlu mengetahui apa dan siapa yang kita hendak tanggapi itu.
Manusia memiliki dua dimensi, karena itu kita mesti menanggapi keduanya melalui pengenalan, dalam hal ini adalah pendidikan.
Dari sinilah, bagi saya, budaya pendidikan yang kali pertama mesti dimunculkan adalah pengenalan atas manusia. Siapa manusia itu? Dari mana mereka? Dan akan kemana?
Inilah yang saya maksud sebagai pendidikan yang berbudaya.
Setelah kita menjawab pertanyaan ini, kita akan melahirkan budaya pendidikan yang berlandaskan pada budaya kemanusiaan, yang ditinjau dari kedua dimensi manusia.
Tapi sayangnya, karena kita belum mengenal siapa manusia seutuhnya, apa yang lahir adalah budaya pendidikan yang tidak berbudaya manusiawi.
Dan karena itulah, penyakit stunting akal dan stunting hati, di berbagai wadah pendidikan kita, masih belum tersentuh.
Pertanyaan terakhir yang membetik di dalam benak kita adalah “apa obat dari penyakit stunting ini?”
Jawabannya, untuk sementara adalah, “pendidikan sufistik”. Melalui ini, pendidikan berbudaya akan termanifestasi dalam kehidupan kita sehari-hari.
Oleh: Agung Ardaus (Aktivis JAKFI Nusantara)