Wajah-Wajah Baliho
Penulis: Zulkifli Safri S.Fil, M.Phil
Jalanan mulai dipenuhi baliho wajah orang-orang yang akan bertarung di pemilu 2024 mendatang. Untuk hal ini, saya lebih senang menyebutnya “Wajah-Wajah Baliho,” sebagai representasi kandungan baliho itu.
Sebagian mereka, sekalipun begitu asing, tetapi berani berjanji mensejahterakan hidup kita. Mestinya kita mempertanyakan, siapakah mereka dan mengapa mereka begitu yakin dapat mengubah hidup kita? Jawaban atas pertanyaan ini kita tunda dulu.
Faktanya, tatkala pemilu semakin dekat, mereka gencar memperkenalkan diri, tentu saja agar bisa akrab dengan siapapun. Selain baliho, mereka menggunakan tim sukses ataupun simpatisan. “Menyamar” menjadi keluarga, kawan, tetangga, bahkan saudara kita. Apa yang terjadi selanjutnya?
Pertama, tim sukses dan simpatisan berhasil menyakinkan kita, bahwa “Wajah-Wajah Baliho” itu laksana “Ratu Adil”, “Mesias” ataupun “Imam Mahdi” yang mampu mengangkat keterpurukan hidup segenap umat manusia.
Kita yang memang sudah terlanjur meyakini itu memulai proyeksi masa depan kita. Di waktu yang telah ditentukan, seolah negara ini direstart, pengatur hidup rakyat dipilih ulang.
Kita menusuk wajah orang-orang ini, dengan benda tajam. Tusukan yang membahagiakan bagi Wajah-Wajah Baliho, semakin banyak tusukan, kebahagiaan mereka pun semakin bertambah.
Mereka lalu merasa “terpilih,” begitulah anggapan mereka pada diri sendiri. Kata “terpilih” tidak pantas untuk disematkan di sebagian pundak mereka. Oleh karena di dalam sejarahnya, kata “terpilih” itu untuk orang-orang dengan kematangan jiwa dan nalar. Bukan kematangan nafsu berkuasa belaka.
“Yang Terpilih” sudah semestinya menyeimbangkan antara kekuasaan dan keadilan, sebab keadilan tanpa kekuasaan tidaklah berguna, kekuasaan tanpa keadilan adalah kekerasan.
Kedua, kita menolak untuk memilih sebab kita tidak mengenali. Di sini kita hanya akan menahan untuk memilih, kadang diikuti dengan nepotisme memilih karena keluarga. Tanpa kembali bertanya pada diri sendiri, kenapa harus saya pilih? Tentunya jawaban dari pertanyaan ini, harus rasional. Namun jangan lupa alasan-alasan seseorang untuk memilih itu lebih irasional.
Orang akan berkata “Dia orang baik kok, sering senyum”. Bukankah mafia kelas kakap pun suka tersenyum? Al-Capone, mafia hebat asal Amerika berkata “Anda bisa melangkah sangat jauh dengan senyum, akan lebih jauh lagi dengan senyum dan senjata”. Sisi irasionalitas ini menjadi sasaran empuk untuk diolah, dibumbui janji.
Mereka menjanjikan sesuatu yang belum dimiliki. Lalu, apakah kita perlu menolak pemilu? Tidak. Kita hanya perlu menerapkan sikap yang lebih kritis. Dalam arti memikirkan pilihan dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang.
Alasannya, di dalam “demokrasi,” jangan harapkan Wajah-Wajah Baliho itu berkompeten. Demokrasi itu teralu rewel, orang-orang tak berkompeten pun menjerit-jerit seperti anak kecil, meminta jatah mengatur pemerintahan.Wajar saja jika Almarhum Gus Dur berkata “DPR itu seperti Taman Kanak-kanak”.
Untuk itu, biarkan Wajah-Wajah Baliho datang langsung perkenalkan dirinya. Agar usaha ini dapat membuatnya mengerti susahnya berjuang meyakinkan pemilihnya.
Kalau mereka berkata “Banyak sekali yang perlu saya datangi. Pekerjaan baga-baga itu”. Dari sini saja sudah terukur, belum mewakili sudah kelihatan angkuhnya. Perjuangan mengambil hati rakyat saja sudah menggunakan benteng kokoh, bahkan tak tersentuh.
Perlu diingat di Jepang, seorang calon anggota dewan saja berdiri di stasiun kereta memperkenalkan diri dan pidato programnya. Apakah cara di atas efektif mengubah wajah pemilu kita?
Itu hanya salah satu cara, agar Wajah-Wajah Baliho itu tidak picik menilai pemilih hanya dengan uang. Karena demokrasi sekarang sudah terperosok jauh pada materialistik. Sementara untuk pemilih tidak merasa bodoh amat. Pemilih sudah harus paham mencoblos tidak berakhir dalam bilik suara, ada konsekuensi selama 5 tahun kedepan.
Jadi, jangan biarkan Wajah-Wajah Baliho asing mendatangi kita dan semakin asing setelah kita pilih. Mereka lalu lalang, lalu pergi begitu saja.
Tinggalkan Balasan