Kader Muhammadiyah, Kun Sa’idan (Senangkanlah Hatimu)

Penulis: Zulkifli Safri S.Fil, M.Phil

Kun Sa’idan, kata terbaik untuk seluruh Kader Muhammadiyah. Kun Sa’idan memiliki arti senangkanlah hatimu.

Kita bisa saja berkecil hati dengan keadaan sekarang ini, Muhammadiyah mendapat ancaman oleh Andi Pangerang Hasanuddin (APH).

Ikhtiar Muhammadiyah dalam menentukan awal dan akhir bulan suci Ramadhan ternyata disalahpahami orang seperti APH. Seolah-olah hal itu merupakan bentuk pembangkangan kepada pemerintah. Hingga terlontarlah ancaman akan membunuh orang-orang Muhammadiyah. Ini jelas adalah suatu ketiadaan tenggang rasa yang jauh dari nilai-nilai keislaman.

Muhammadiyah menentukan Sholat Idulfitri lebih awal bukanlah usaha untuk memecah belah umat Islam. Hal semacam itu justru memperlihatkan keterbukaan di dalam batang tubuh Islam.

Dari kejadian sekarang ini, kita sebagai kader Muhammadiyah dapat berefleksi
kembali, pada kisah-kisah perjuangan pendirian Muhammadiyah oleh K.H. Ahmad Dahlan dan orang-orang terdekatnya.

Muhammadiyah lahir dari keprihatinan. K.H. Ahmad Dahlan yang terusik melihat realitas umat Islam tak berpendidikan, menjadi babu di negeri sendiri, diperas hingga tulang rusuknya menonjol akibat bekerja di bawah kekangan kolonialisme.

Pemandangan menyayat hati tersebut, seolah-olah Tuhan lepas tangan dari kehidupan orang-orang yang beriman kepada-Nya. Sikap pasrah akan keadaan membuat umat Islam mundur menjadi debu-debu zaman, hilang tak berbekas.

K.H. Ahmad Dahlan, sang Pembaharu, membawa secercah harapan akan dunia Islam, dunia yang tidak lagi berdebat siapa yang beribadah paling sesuai Rasulullah, Akan tetapi membawa visi sosial dari Rasulullah.

Visi sosial K.H Ahmad Dahlan adalah hasil perasan saripati dari Surah Al-Maun. Selama masa dakwah, K.H Ahmad Dahlan tidak kaku, selama masa perjuangannya tidak pernah memunculkan konflik dengan keraton saat itu.

Bagi kita, kader Muhammadiyah, visi Al-Maun harus benar-benar menjadi nafas, yang hanya lepas tatkala maut memisahkan. Kader Muhammadiyah menjadi rule model Islam yang tidak berhenti pada wilayah praktik-praktik keagamaan, tetapi aktif juga pada praktik sosial. Visi sosial mengangkat derajat umat Islam, tidak lagi berkubang dengan penyakit, kemiskinan, dan kebodohan.

Biarkanlah mereka yang merasa paling benar “Himmelhoch jauchzend, zu Tode
betruebt”, kata orang Jerman; bersorak melonjak sampai surga, tetapi muram sampai mati.

Kita para kader Muhammadiyah berlomba-lomba dalam kebaikan bukan kebenaran. Berlomba-lomaba dalam kebaikan mesti memiliki kekuatan dan kesabaran pada perasaan dendam. Karena perjuangan yang dilandaskan atas dasar dendam, tidak akan menjadi obat yang baik, sebab dendam dan benci akhirnya pasti menyeleweng. Kejahatan diganti kejahatan, tirani diganti tirani. Mahatma Gandhi berkata “Jika mata ketemu mata, maka dunia akan buta.”

Ingatlah kembali Kun Sa’idan. Jalan yang ditempuh Muhammadiyah adalah jalan
Pembebasan yang diridhoi Allah SWT. Jalan terjal, penuh onak duri, dari dalam tubuh umat Islam sendiri. Rapatkanlah barisan, tetaplah berjuang menuju kebahagiaan.

Bukan kebahagiaan atas diri sendiri. Kebahagian yang digambarkan filsuf Rusia, Leo Tolstoy “bahwa engkau cinta sesama manusia sebagaimana mencintai dirimu sendiri”.

Dalam Islam pun Allah SWT berfirman “Bertolong-tolonglah kamu atas berbuat baik dan takwa, dan jangalah kamu bertolong-tolong atas dosa dan permusuhan (Q.S Al-Maidah [5]: 2).

Komentar