Gerakan PMII dan Upaya Menghidupkan Kepakaran Kader
INDEKSMEDIA.ID – Saat ini, PMII memasuki usia 63 tahun. Usia yang cukup matang dalam memantaskan dirinya sebagai organisasi yang mencetak pemimpin harapan bangsa.
Namun hal tersebut tidak selaras dengan pemikiran dan gerakan sebagian kader PMII yang cenderung sektarian, membentuk faksi dan bahkan pengkultusan kian menggurita menjangkiti tubuh organisasi.
Jika menoleh ke belakang, pada awal perjalanan PMII, para pendiri PMII dan kader bergelut untuk memberantas segala bentuk kekeliruan yang terjadi, diantaranya getol mengkritisi berbagai kebijakan yang cenderung tidak ada keberpihakannya terhadap masyarakat dan senantiasa melakukan proses edukatif guna penyadaran akan ketertindasan penguasa.
Terdapat salah satu figur yang tak luput dalam proses perjuangan PMII, yakni Mahbub Djunaidi. Translator buku Animal Farm yang ditulis oleh George Orwell ini, merupakan sosok yang multi peran.
Dimana perannya sebagai konsolidator pemikiran dan gerakan, politisi handal, agamawan yang disegani, dan jurnalis yang tak jarang membuat pembacanya terbahak-bahak menikmati tulisannya.
Nyaris ditemukan figur seperti ini di era sekarang, mengingat PMII sudah melebihi enam dekade usianya.
Apakah PMII sekarang ini mengalami erosi, baik dari pemikiran maupun gerakannya? Mengapa di era yang serba cepat arus informasi dan digitalisasi, PMII mengalami krisis kepakaran? Penulis tak bermaksud secara langsung untuk menjawab hal tersebut, sebab masing-masing dari kita memiliki persepsi yang berbeda memandang PMII di masa kini.
Melalui Pola Kaderisasi Lining Sector
Suka atau tidak, kaderisasi PMII saat ini mengalami disorientasi. Sedemikian rupa skema kaderisasi telah disepakati, namun hal itu justru tidak terintegrasi secara vertikal. Pendekatannya mungkin yang kurang relevan (top-down), yang harusnya dilakukan dari bawah ke atas (bottom-up).
Secara garis besar, skema kaderisasi harus memiliki parameter yang jelas dan arah gerak yang nyata. Tanpa pendekatan bottom-up, niscaya membuat keseragaman yang simetris untuk mengukur tingkat keberhasilan kaderisasi yang terintegratif, baik secara vertikal maupun horizontal.
Patut disyukuri, bahwa upaya kebaruan kaderisasi dalam setiap level kepengurusan selalu ditemukan. Namun ada hal tersebut luput dari substansinya, yakni hanya sekedar langkah programmatik dan praktis tanpa ada keberlanjutan dalam mengukur tingkat keberhasilannya.
Gerakannya pun kian impulsif terhadap respon issue dan wacana kontemporer. Apakah keberhasilan kaderisasi hanya diukur dengan menciptakan figur politisi? Jika jawabannya iya, medan juang PMII sangat-sangat sempit.
Kita harus menyadari bahwa medan potensial PMII bukan hanya melalui jalur politik, melainkan begitu banyak dimensi dapat dimasuki, diantaranya bidang ekonomi, pendidikan, agama, budaya, sosial, hukum dan lain sebagainya.
Berapa banyak dari kita menyadari kader PMII yang menjadi kyai, pengusaha, agamawan, ekonom, NGO, jaksa, hakim, akademisi, dan semacamnya? Nyaris terhitung dengan jari.
Di usianya yang ke-63 tahun, PMII telah memiliki ratusan ribu kader maupun anggota di berbagai level kepengurusan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dan mempunyai lembaga yang menjaring kader dan anggota sesuai dengan basis akademik maupun keminatannya.
Namun hal ini kurang dimaksimalkan, disebabkan ketidakmampuan kader dan anggota mengejewantahkan kurikulum atau program potensial guna tepat sasaran dan berbasis kebutuhan untuk peningkatan kualitas SDM sesuai dengan kecenderungannya.
Jika di berbagai level kepengurusan, masing-masing bidang maksimal keaktifannya maka kita dapat mengukur tingkat keberhasilan kaderisasi PMII dalam menjawab tantangan zaman yang kian disrupsi.
Apabila bidang kurang maksimal juga, maka dapat difungsikan lembaga semi otonom (LSO) yang sebetulnya sangat diperlukan untuk menunjang skema lining-sector sebagai penguatan basis intelektual maupun secara praktis sehingga kader dan anggota PMII memiliki spesialisasi sesuai bidang dan peminatannya (kepakaran).
Selain itu, medan juang PMII tidak ditinggalkan yang bukan hanya merebut ruang politik, melainkan merebut ruang-ruang lainnya. Medan yang selama ini ditinggalkan, harus secepatnya diisi oleh kader PMII agar memiliki daya saing jangka panjang sebagai bentuk kontributif terhadap pembangunan negara Indonesia.
Penulis beranggapan bahwa wujud dari Taqwa, Intelektual dan Profesional dapat ditemukan nantinya jika melakukan transformasi secara utuh dan menyeluruh.
Oleh sebab itu, dalam momentum Harlah PMII 63 Tahun ini, kita patut merayakannya bukan hanya sekedar seremonial belaka melainkan memiliki high-valued bagi bangsa Indonesia. Selamat ber-Harlah Sahabat-Sahabati di berbagai penjuru dunia.
Penulis : Muhammad Rafly Setiawan, SE
(Ketua Umum PMII Kota Palopo 2020-2021)
Tinggalkan Balasan