Demokrasi dan Harapan Kita

Oleh: Agung Ardaus
(Mahasiswa Hukum Pasca Sarjana IAIN Palopo)

INDEKSMEDIA.ID – Manusia adalah makhluk bersosial. Ini jelas dari sudut pandang kebutuhan mereka yang tidak bisa hidup tanpa orang lain. Artinya, siapa pun mereka, akan hidup dalam naungan sistem kemasyarakatan. Oleh karena keinginan manusia secara alamiah (nature) adalah mencari kebahagiaan, maka dari itu, dipastikan bahwa mereka akan berupaya keras untuk menelusuri sistem yang baik dan membahagiakan. Penemuan sistem inilah harapan kita semua.

Di samping itu, lika-liku perjalanan sejarah memperlihatkan babakan yang dialektik sekaligus dimensional. Apalagi menyinggung soal tatanan yang membangun sejarah itu sendiri.

Almarhum Gus Dur, saat mengutip Arnold Toynbee, seorang sejarawan kondang, menyimpulkan bahwa manusia memiliki peradaban yang di dalamnya terdapat apa yang disebut sebagai dekalogi kebudayaan. Salah satunya adalah kemanusiaan.

Bagi akal sehat kita semua, kemanusiaan adalah upaya untuk menjadikan kehidupan ini sejahterah dengan menggunakan metode yang adil (justice).

Sayangnya, deklarasi kemanusiaan ini tidak jarang menjadi polemik, bahkan bisa dikatakan sebagai, “kemunafikan yang dikampanyekan”, atau kata William Chittick, seorang Kosmolog asal Amerika, bahwa teriakan kemanusiaan di era destruksi adalah semacam “kata-kata plastik”.

Singkatnya, jargon kemanusiaan bisa saja mengelabui banyak orang yang pada gilirannya menciptakan ketidaksejahteraan.

Melalui lapangan sejarah, di mana kemanusiaan harus ditampilkan, demokrasi justru menjadi alternatif, atau katakanlah, satu-satunya jalan untuk keselamatan dan kebahagiaan umat manusia. Dengan alasan bahwa dinasti sebelumnya melahirkan banyak malapetaka di tubuh sejarah itu sendiri.

Demokrasi, akhir-akhir ini, dan mungkin sejak awal kemunculannya, adalah “barang” yang samar-samar. Dengan kata lain, tidak banyak orang yang mengetahuinya. Namun pada intinya, demokrasi itu mensyaratkan keterbukaan. Keterbukaan di sini berada dalam banyak aspek, untuk tidak menyebutkan semuanya; birokrasi, ideologi, dan budaya.

Ketiga kata itu dapat diterapkan pada kenyataan; birokrasi sebagai negara, ideologi sebagai agama, dan budaya sebagai kultur (tradisi). Ketiganya saling mengisi kehidupan kita. Dengan kata lain, tanpa perasaan dan pikiran yang terbuka dalam menerima perbedaan, maka ketiga aspek ini akan rentan terhadap perkelahian, permusuhan, bahkan, semoga saja tidak terjadi, adalah saling bunuh-bunuhan.

Hubungan (relation) ketiga di atas dapat ditemukan dalam panggung politik, yang saat ini kita sedang akan menjemputnya. Artinya, tidak lama lagi kita semua akan melakukan “pesta rakyat”, “pesta politik”, dan atau “pesta demokrasi”. Singkatnya, Pemilu.

Dalam kondisi seperti ini, hasrat kekuasaan itu memuncak, dan pada gilirannya melahirkan tingkat kemungkinan yang tinggi untuk mengorbankan tradisi atau bahkan agama tertentu.

Jika sudah begini, alih-alih kita, dengan melalui Pemilu, yang berasas pada keterbukaan demokratis, untuk melahirkan kesejahteraan, justru karena dengan Pemilu yang tidak adil, dan tidak saling terbuka, memungkinkan akan melahirkan banyak korban.

Sederhana saja, apa yang dapat ditarik dari penjelasan sederhana ini bahwa segenap mayarakat, partai, para penyelenggara, pengawas pemilu, tetap harus menampilkan asas-asas demokratis, sehingga masyarakat akan tetap meyakini, memercayai, menghargai, dan tidak kecewa atas penyelenggaraan politik yang dianggap demokratis. (*)

Komentar